Selasa, 04 Desember 2012

Ketika Mencontek Menjadi Karakter


Siapa yang waktu ulangan harian tidak pernah mencontek? Sering mendengar pernyataan itu di beberapa mata kuliah bukan? Sebenarnya pertanyaan tersebut membuat saya kikuk untuk menjawabnya. Karena saya sendiri pernah mencontek ketika di SD, bahkan hingga masa SMA. Jadi, bisa dikatakan saya selalu mempunyai pengalaman mencontek di setiap jenjang sekolah. Mungkin hal tersebut juga dialami oleh teman-teman. Namun tidak menutup kemungkinan, di antara teman-teman yang tidak pernah mencontek di sejarah ulangan hariannya.
Dalam penerapannya, mencontek memiliki banyak pengertian. Seperti halnya meniru jawaban orang lain, mengambil jawaban dari berbagai literatur ketika ulangan harian, dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun, kita batasi masalah ini hanya pada kegiatan ulangan harian, ujian tengah semester, dan ujian akhir semester yang di dalamnya tidak memuat unsur open book.
Menindaklanjuti permasalahan di atas. Ketika mencontek sudah dijadikan budaya oleh pelajar. Bukan hanya sekedar ‘sebaiknya’ melainkan ‘seharusnya’ hal tersebut dihentikan. Bila kita mencoba menilik lebih jauh,  budaya mencotek ke depannya akan menimbulkan dampak yang sangat buruk apabila tidak segera diatasi. Karena pada dasarnya, kebiasaan mencontek disebabkan bukan karena ketidakmampuan kita. melainkan lebih ke ketidakmauan kita untuk mendapatkan hasil yang ingin dicapai dengan usaha yang maksimal.
Saya akan mengambil pandangan yang dikatakan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya yang memuat tentang penciptaan karakter, “Taburlah gagasan, petiklah perbuatan, taburlah perbuatan, petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan, petiklah karakter, taburlah karakter, petiklah nasib”. Jadi, bila diperinci. Mencontek berasal dari pemikiran kita, bahwa kita tidak perlu melakukan usaha yang besar untuk mendapatkan nilai yang baik. Kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan. Yang dari tindakan tersebut dilakukan secara berulang-ulang hingga menjadi sebuah kebiasaan. Dan kebiasaan yang tetap dipertahankan akan menjadi sebuah karakter.
Apakah teman-teman sudah mampu menggambarkan dampaknya? Ketika mencontek itu sudah menjadi karakter. Yang sudah barang tentu, karakter akan dibawa kemanapun, di manapun, dan di kesempatan apapun kita berada. Lalu, bagaiman dengan masa perkuliahan kita? bahkan lebuh jauh lagi, kalau kita sudah terjun ke masyarakat dengan karakter suka mencontek? Salah satu dampak  yang saya contohkan adalah kita tidak mampu bersaing secara sehat di sendi-sendi kehidupan. Dan sudah tentu masih banyak lagi dampak buruk yang akan timbul, karena kita terbiasa ‘dinina bobokan’ oleh mencontek itu sendiri.
Lalu muncul pertanyaan lagi. Bagaimana kita dapat menghentikan karakter suka mencontek tersebut? Sesuai firman Allah QS. Ar-Ra’d (13:11) “…Sungguh, Allah tidak akan mengubah (nasib) suatu kaum jikan mereka tidak mengubah keadaannya sendiri…”. Ini berarti bahwa, perbaikan itu masih bisa dilakukan jika kita mau dan bersungguh-sungguh untuk memperbaikinya. Cukup di situ sajakah? Tidak. Karena perbuatan itu baru terjadi pada diri kita. mencoba ke ranah yang lebih jauh, tularkan hal tersebut pada teman-teman kita. dengan kita melakukan sebuah tindakan secara langsung, bahwa kita mampu apabila kita mau. Seperti, kita belajar dengan giat. Kemudian pada saat pelaksanaan ulangan harian maupun ujian kita mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan akhirnya mendapat nilai yang baik tanpa mencontek.
Di atas merupakan salah satu bentuk penyelesaian terhadap mencontek yang sudah menjadi karakter. Kemudian, bagaimanakah bentuk menanggulangi masalah mencontek terhadap generasi di usia emas? Yang mereka belum menjadikan mencontek sebagai karakter. Itulah tugas kita sebagai calon pendidik anak di generasi emas. Dengan kita memulai mendidik mereka bukan hanya sekedar menjadi generasi penerus bangsa yang berpandangan dan berpikiran cerdas, tetapi juga berkarakter dan berkepribadian baik. Penanaman nilai-nilai luhur yang sesuai norma dan moral bangsa, dan tentu masih banyak lagi yang dapat kita lakukan. Hal itu tidak terlalu sulit untuk diterapkan, namun tetap harus berhati-hati. Karena dengan penerapan metode yang salah, justru nantinya akan terjadi kesalah pahaman pada diri anak tersebut. Dan dampakya akan muncul pada saat mereka dewasa.
Saat ini, dimulai dari diri kita sendiri. Ubah karakter kita terhadap kebiasaan yang telah dipaparkan di atas. Karena kita calon pendidik bangsa yang akan dijadikan layaknya ‘dewa’ oleh anak didik kita. dan dijadikan Indonesia menjadi lebih baik dengan melakukan langkah kecil yang dimuai dari diri kita sendiri, namun berdampak besar pada berbagai sendi kehidupan. Menghapus budaya mencotek.


Selamat berjuang kawan, kita hisa bila kita mau.
Titin Setianingrum
PGSD_FIP_UNY_2012
*juara III lomba esay mahasiswa baru PGSD UNY Wates

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aplikasi